26 June 2008

Daya Dukung Lingkungan Dalam Perencanaan Kawasan Wisata

Carrying Capacity in Planning Tourism Area

Pariwisata merupakan industri yang kelangsungan hidupnya sangat ditentukan oleh baik-buruknya lingkungan. Ia sangat peka terhadap kerusakan lingkungan, misalnya pencemaran oleh limbah domestik yang berbau dan nampak kotor, sampah yang bertumpuk, dan kerusakan pemandangan oleh penebangan hutan, gulma air di danau, gedung yang letak dan arsitekturnya tidak sesuai, serta sikap penduduk yang tidak ramah.

Tanpa lingkungan yang baik tak mungkinlah pariwisata berkembang. Karena itu pengembangan pariwisata haruslah memerhatikan terjaganya mutu lingkungan, sebab dalam industri pariwisata, lingkungan itulah yang sebenarnya dijual. Asas pengelolaan lingkungan untuk melestarikan kemampuan lingkungan dalam mendukung pembangunan yang terlanjutkan bukanlah merupakan hal yang abstrak, melainkan benar-benar konkrit dan sering mempunyai efek jangka pendek.

Suatu daerah wisata mempunyai kemampuan tertentu untuk menerima wisatawan, yaitu disebut daya dukung lingkungan. Daya dukung lingkungan di bidang pariwisata dapat dinyatakan dalam jumlah wisatawan per satuan luas per satuan waktu. Tetapi baik luas maupun waktu umumnya tidak dapat dirata-ratakan, karena penyebaran wisatawan dalam ruang dan waktu tidak merata.

Seringkali wisatawan mengelompok di tempat dan waktu tertentu. Misalnya, di daerah Puncak Cipanas, konsentrasi wisatawan adalah Riung Gunung, sekitar Telaga Warna, Hotel Puncak Pass, dan Kebun Raya Cibodas. Menurut waktu, konsentrasi wisatawan terdapat pada hari Minggu dan hari libur lain. Karena itu daya dukung lingkungan daerah wisatawan Puncak-Cipanas tidak dapat dihitung berdasarkan rata-rata luas daerah antara Cibulan dan Cipanas dan rata-rata setiap bulan atau tahun, melainkan harus memperhatikan tiap lokasi dan waktu yang penting. Misalnya, apabila jumlah wisatawan dihitung per tahun akan terdapat angka yang jauh di bawah daya dukung lingkungan. Tetapi bila dihitung jumlah wisatawan per hari Minggu, akan didapatkan angka yang tinggi yang sebenarnya mungkin telah melampaui daya dukung.

Daya dukung lingkungan pariwisata dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu tujuan wisatawan dan faktor lingkungan biofisik lokasi pariwisata. Tujuan pariwisata adalah untuk mendapatkan rekreasi. Rekreasi tidak hanya berarti bersenang-senang, melainkan harus diartikan sebagai re-kreasi, yaitu secara harfiah berarti diciptakan kembali. Jadi dengan re-kreasi itu orang ingin menciptakan kembali atau memulihkan kekuatan dirinya, baik fisik maupun spiritual. Setelah berekreasi orang merasa dirinya pulih untuk melakukan tugasnya lagi. Karena itu tujuan rekreasi bermacam-macam, antara lain bermain-main, berolah-raga, belajar, beristirahat atau kombinasi macam-macam tujuan itu. Walaupun tujuannya bermacam-macam, tetapi semuanya mempunyai sifat umum yang sama, yaitu dilakukan di luar tugas pekerjaan untuk mendapatkan hiburan.

Hiburan inilah yang merupakan faktor utama dalam penciptaan kembali diri orang.
Dengan adanya tujuan khusus, disamping ingin mendapatkan hiburan, wisatawan tentulah mengharapkan untuk mencapai tujuan khusus itu. Harapan itu akan menciptakan suatu kondisi psikologi tertentu pada wisatawan. Karena itu daya dukung lingkungan berkaitan dengan faktor psikologi tujuan pariwisata tertentu. Misalnya, di pantai untuk bermain-main, beribu orang wisatawan merasa senang-senang saja berjemur diri sangat berdekatan satu sama lain. Jika tidak banyak wisatawan mereka merasa kesunyian. Akan tetapi bila orang pergi ke pantai dengan tujuan untuk berolah-raga, mereka merasa terganggu jika ada terlalu banyak orang. Orang yang ingin beristirahat dengan mencari keheningan dan hawa sejuk di pegunungan akan merasa kesal, bahkan merasa rekreasinya gagal, bila di tempat itu banyak orang dan hiruk pikuk dengan kebisingan kendaraan.

Dengan demikian daya dukung lingkungan pariwisata berbeda-beda menurut tujuan pariwisata itu. Pada umumnya daya dukung itu berturut-turut dari yang tinggi ke yang rendah ialah tempat hiburan, olah raga, belajar dan istirahat. Perencanaan pengembangan pariwisata haruslah memperhatikan daya dukung berdasar atas tujuan pariwisata.

Faktor biofisik yang memengaruhi kuat atau rapuhnya suatu ekosistem akan sangat menentukan besar-kecilnya daya dukung tempat wisata tersebut. Ekosistem yang kuat mempunyai daya dukung yang tinggi, yaitu dapat menerima wisatawan dalam jumlah yang besar, karena tidak mudah rusak dan dapat cepat pulih dari kerusakan (sensitivitas rendah, resiliensi tinggi). Ekosistem demikian pada umumnya terdapat di ketinggian di atas laut yang rendah, yang datar atau landai, suhu yang tinggi dan tanah yang subur, misalnya sebuah hutan wisata di dataran aluvial Jawa bagian utara. Karena tanahnya datar atau landai, tidak mudah terjadi erosi dan jika terjadi kerusakan, pohon-pohon dengan cepat dapat tumbuh kembali, karena tanah yang subur dan suhu yang tinggi.

Sebaliknya ekosistem kawah di pegunungan yang tinggi, merupakan contoh daerah wisata yang mempunyai daya dukung rendah, misalnya Kawah Papandayan dan Kawah Ciwidey di Jawa Barat. Suhu yang rendah, tanah yang tidak subur dan adanya gas yang beracun, antara lain uap belerang, menjadikan ekosistem itu rapuh. Jika terjadi kerusakan, pohon dan tumbuhan lain akan pulih dengan sangat perlahan-lahan karena suhu yang rendah, tanah yang tak subur dan gas yang beracun. Jenis tumbuhan yang dapat tumbuh di tempat itu pun sangat terbatas, yaitu yang amat khas Vaccinium dan paku-pakuan Heliopteris incisa dan Seguea feei. Jumlah wisata ke daerah semcam ini harus dibatasi dan diadakan pengawasan yang ketat.

Daya dukung badan air yang digunakan untuk pariwisata dipengaruhi oleh luas dan volume badan air itu dan gerak air. Misalnya, sebuah danau yang luas, dalam, pencampuran air yang baik dan pergantian air yang cepat mempunyai daya dukung yang lebih besar daripada danau yang sempit, dangkal, airnya tenang dan mengalami penggantian air yang pelan. Hal ini disebabkan karena di danau dengan volume air yang besar yang tercampur oleh gelombang atau arus dan cepat diganti, zat pencemar akan mengalami pengenceran dan terbawa keluar danau oleh adanya aliran keluar. Danau Toba di Sumatera Utara misalnya, mempunyai daya dukung yang lebih tinggi daripada Danau Sarangan di Madiun. Danau Tiga Warna Kelimutu di Flores, dapat diperkirakan mempunyai daya dukung yang rendah.

Uraian di atas hanyalah bersifat umum. Kondisi lokal dapat menyebabkan penyimpangan dari gambaran umum itu. Di teluk yang tenang daya dukung akan lebih kecil daripada keadaan umum di danau yang besar atau pantai yang gelombangnya besar.
Terumbu karang merupakan ekosistem yang rapuh, mudah mengalami kerusakan dan proses pemulihannya sangat lambat. Karena itu pengelolaan terumbu karang untuk pariwisata harus dilakukan dengan baik, antara lain pelarangan penangkapan ikan dan pengambilan karang, serta pencegahan erosi dan pencemaran. Jumlah wisatawan dibatasi sampai pada batas daya dukung.

Faktor biofisik yang mempengaruhi daya dukung lingkungan bukan hanya faktor alamiah, melainkan juga faktor buatan manusia. Misalnya, adanya perkampungan penduduk di dekat lokasi pariwisata yang limbahnya terbuang langsung atau terbawa oleh arus ke lokasi itu akan menurunkan daya dukung lingkungan pariwisata tersebut. Contohnya adalah Pantai Pede di Flores Barat yang direncanakan sebagai tempat pariwisata yang akan mendukung pariwisata di Taman Nasional Komodo. Pantai Pede terletak dekat kota kecamatan Labuhanbajo. Dari pertumbuhan rumput laut di Pantai Pede dapat diperkirakan telah terjadi penyuburan air dari limbah domestik Labuhanbajo. Karena itu untuk menghindari penyuburan yang berlebih jumlah wisatawan yang dapat ditampung akan terbatas.

Sarana pariwisata juga merupakan faktor dalam penentuan daya dukung, antara lain jalan dan tempat peristirahatan. Misalnya jalan dari Ciawi ke Puncak dan Cipanas sering mengalami kemacetan, terutama pada hari Minggu dan libur lainnya. Kemacetan itu dapat sampai berjam-jam sehingga menimbulkan kekesalan dan kekecewaan wisatawan, apalagi wisatawan luar negeri yang waktunya terbatas. Karena itu sebenarnya jumlah wisatawan pada hari libur telah melampaui daya dukung lingkungan.

Daya dukung lingkungan tidak cukup hanya dilihat dari sarana pelayanan wisatawan, melainkan juga harus dari segi kemampuan lingkungan untuk mendukung sarana itu. Dengan mengambil contoh antara Megamendung dan Puncak telah nampak adanya petunjuk kemampuan lingkungan itu telah atau hampir terlampui. Misalnya, rumah peristirahatan dibangun sampai ke daerah yang tinggi sekali dan yang berlereng curam, serta telah makin berkurangnya luas hutan merupakan petunjuk itu. Hal serupa kita lihat di daerah antara Cimacan dan Cibodas. Karena itu sarana pelayanan kebutuhan wisatawan tidak dapat ditambah terus dengan naiknya jumlah wisatawan. Hal ini berarti jumlah wisatawan harus dibatasi, sesuai dengan daya dukungnya.

Pembatasan jumlah wisatawan akan membawa masalah, karena masalah itu sukar untuk dibendung dan pembendungan itu akan menghambat laju ekonomi. Masalah ini dapat diatasi dengan mengidentifikasi daerah lain yang mempunyai potensi untuk memberikan jenis rekreasi yang serupa dengan yang ada di daerah Puncak. Daerah yang potensial adalah di kompleks Gunung Salak dekat Bogor untuk wisatawan dari Jakarta – Bogor, dan untuk wisatawan dari Bandung cagar alam Gunung Tilu, Gunung Kamojang dan Gunung Papandayan yang letaknya dekat Bandung. Pengembangan daerah itu akan dapat menyalurkan sebagian wisatawan ke daerah itu dan dengan demikian mengurangi tekanan wisatawan di daerah Megamendung – Puncak – Cipanas.

Jelaslah perencanaan pariwisata yang tidak memerhatikan daya dukung lingkungan akan menurunkan kualitas lingkungan dan rusaknya ekosistem yang dipakai untuk pariwisata itu sehingga akhirnya akan menghambat bahkan menghentikan perkembangan pariwisata itu.

Pengembangan pariwisata memungkinkan munculnya konflik-konflik, misalnya pada satu pihak orang ingin adanya keaslian alamiah, tetapi pada lain pihak dikehendaki adanya sarana hotel dan parkir. Konflik tersebut dapat dikurangi atau bahkan diatasi, dengan perencanaan zonasi yang matang. Masing-masing zone diberi peruntukan tertentu dan diletakkan demikian rupa, agar fungsi utama obyek wisata tidak rusak dan kepentingan umum tidak terganggu.

Misalnya pengembangan pariwisata di daerah pegunungan. Daerah bukit sampai ketinggian tertentu dan lereng yang curam merupakan zone yang diperuntukkan bagi hutan dan taman, sehingga sumber daya tanah dan air dapat terlindungi. Sebagian hutan dapat dikembangkan menjadi hutan wisata dengan sarana untuk lintas alam dan perkemahan. Beberapa tempat disisihkan pula untuk rekreasi yang dapat memberikan kesejukan dan keheningan alam. Di ketinggian yang lebih rendah yang tanahnya datar atau landai, yang mempunyai daya dukung yang lebih tinggi, dapat dikembangkan pariwisata yang intensif: hotel, bungalow, tempat hiburan dan lain-lain.

Dengan zonasi yang baik dan yang ditaati, keanekaan dapat dipelihara, sehingga orang dapat memilih rekreasi apa yang diinginkan. Hutan dengan flora dan faunanya dapat terlindungi serta fungsi hidro-orologi hutan dapat terlaksana. Keindahan alam dapat terjaga dan pencemaran dapat dihindari. Jelaslah masalahnya bukanlah pariwisata atau perlindungan lingkungan, melainkan pariwisata dan perlindungan lingkungan yang berdampingan secara harmonis. Syarat utama untuk dapat terlaksananya zonasi adalah untuk mengekang diri dan menempatkan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi.


SUMBER/PUSTAKA:
Soemarwoto, O. 1997. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Cetakan Ketujuh (Edisi Revisi). Penerbit Djambatan. Jakarta.

Read More.....

24 June 2008

Konsep Daya Dukung Lingkungan

Concept of Carrying Capacity

Carrying Capacity atau Daya dukung lingkungan mengandung pengertian kemampuan suatu tempat dalam menunjang kehidupan mahluk hidup secara optimum dalam periode waktu yang panjang. Daya dukung lingkungan dapat pula diartikan kemampuan lingkungan memberikan kehidupan organisme secara sejahtera dan lestari bagi penduduk yang mendiami suatu kawasan.

Konsep daya dukung lingkungan berasal dari pengelolaan hewan ternak dan satwa liar (Soemarwoto, 1997). Daya dukung itu menunjukkan besarnya kemampuan lingkungan untuk mendukung kehidupan hewan yang dinyatakan dalam jumlah ekor per satuan luas lahan. Jumlah hewan yang dapat didukung kehidupannya itu tergantung pada biomas (bahan organik tumbuhan) yang tersedia untuk makanan hewan.

Daya dukung dapat dibedakan dalam beberapa tingkat, yaitu daya dukung maksimum, daya dukung subsisten, daya dukung optimum, dan daya dukung suboptimum.

Daya dukung maksimum menunjukkan jumlah maksimum hewan yang dapat didukung per satuan luas lahan. Dengan jumlah hewan yang maksimum, makanan sebenarnya tidak cukup. Walaupun hewan itu masih hidup, tetapi hewan itu tidak sehat, kurus, dan lemah serta mudah terserang oleh penyakit dan hewan pemangsa. Padang penggembalaan akan mengalami kerusakan, karena menjadi padat terinjak-injak; rumput dan tumbuhan lain termakan lebih cepat daripada kemampuan regenerasi. Secara umum lingkungan menjadi rusak dan apabila berjalan terlalu lama, kerusakan itu akan bersifat takterbalikkan.

Pada daya dukung subsisten jumlah hewan agak kurang. Persediaan makanan lebih banyak, tetapi masih pas-pasan. Hewan mash kurus dan ada dalam ambang batas antara sehat dan lemah. Mereka masih mudah terserang oleh penyakit dan hewan pemangsa. Lingkungan juga masih mengalami kerusakan.

Pada daya dukung optimum, jumlah hewan lebih rendah dan terdapat keseimbangan yang baik antara jumlah hewan dan persediaan makanan. Kecepatan dimakannya rumput atau tumbuhan lain seimbang dengan kecepatan regenerasi tumbuhan itu. Kondisi tubuh hewan baik: gemuk, kuat dan sehat. Hewan itu tidak mudah terserang oleh penyakit dan hewan pemangsa. Lingkungan tidak mengalami kerusakan.

Pada daya dukung suboptimum jumlah hewan lebih rendah lagi. Persediaan makanan melebihi yang diperlukan. Karena itu kecepatan dimakannya rumput atau tumbuhan lain lebih kecil daripada kecepatan pertumbuhan. Akibatnya batang rumput dan tumbuhan lain mengayu dan menjadi keras. Mutu padang penggembalaan menurun. Jadi sebenarnya terjadi pula kerusakan. Pada umumnya kerusakan itu bersifat terbalikkan.

Pengelolaan lingkungan mengusahakan untuk mendapatkan populasi hewan pada atau dekat pada daya dukung optimum.

Dilampauinya batas daya dukung akan menyebabkan keambrukan kehidupan, karena tidak tersedianya sumber daya, hilangnya kemampuan degradasi limbah, meningkatnya pencemaran dan timbulnya gejolak sosial yang merusak struktur dan fungsi tatanan masyarakat.

SUMBER/PUSTAKA:
Soemarwoto, O. 1997. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Cetakan Ketujuh (Edisi Revisi). Penerbit Djambatan. Jakarta.

Read More.....

Global Warming

Isu Global Warming atau Pemanasan Global makin mencuat saat ini, akan tetapi informasi cerdas mengenai hal tersebut tidaklah mudah didapatkan setiap orang.
Berikut ada buku gratis dan bagus tentang global warming, silahkan download....


Download Disini

Buku atau artikel gratis lain seputar pemanasan global, energi dan transportasi, dapat liat di www.pelangi.or.id

Read More.....

23 June 2008

Rokok dan Pajak

Cigarette and Tax

Tembakau sebagai bahan utama rokok, merupakan sumber daya alam terbarukan karena dapat ditanam. Tetapi karena dampak negatif rokok bagi kesehatan, penggunaan tembakau seakan dibatasi layaknya sumber daya alam tak terbarukan.

Tanggal 31 Mei merupakan hari Tembakau Sedunia yang dicanangkan oleh World Health Organization (WHO) semenjak 1987. Tujuan diadakannya hari Tembakau Sedunia adalah untuk meraih perhatian masyarakat internasional tentang dampak negatif dari merokok. WHO membuat 6 strategi MPOWER, yaitu:
1). Monitor tobacco use and prevention policies.
2). Protect people from tobacco smoke.
3). Offer help to quit tobacco use.
4). Warn about the dangers of tobacco.
5). Enforce bans on tobacco advertising, promotion and sponsorship.
6). Raise taxes on tobacco.
(sumber: WHO News Release)

Bagi Indonesia, penerimaan negara dari cukai dan pajak rokok yang merupakan "single commodity" pada 2006 mencapai Rp52 triliun. Atas alasan itu, pemerintah akan mendukung perkembangan industri rokok di tanah air mengingat penerimaan negara dari cukai dan pajak rokok cukup besar (Antara, 2007). Sehingga upaya pengurangan perokok seperti melalui kenaikan pajak rokok barangkali mungkin merupakan hal yang masih berada di luar konteks bagi Indonesia saat ini.

Dari situs South East Asia Tobacco Control Alliance (http://www.seatca.org/upload_resource/202.doc), didapat informasi tentang mitos dan fakta rokok terhadap ekonomi termasuk pajak, berikut pemaparan ringkasnya:

Mitos 1:
Industri rokok memberikan kontribusi pemasukan negara dengan jumlah besar.
Fakta 1:
Negara membayar biaya lebih besar untuk rokok dibanding dengan pemasukan yang diterimanya dari industri rokok. Penelitian dari World Bank telah membuktikan bahwa rokok merupakan kerugian mutlak bagi hampir seluruh negara. Pemasukan yang diterima negara dari industri rokok (pajak dan sebagainya) mungkin saja berjumlah besar, tapi kerugian langsung dan tidak langsung yang disebabkan konsumsi rokok jauh lebih besar.
Biaya tinggi harus dikeluarkan untuk membayar biaya penyembuhan penyakit yang disebabkan oleh rokok, absen dari bekerja, hilangnya produktivitas, kematian prematur, dan juga membuat orang menjadi miskin lebih lama karena mereka menghabiskan uangnya untuk membeli rokok. Biaya besar lainnya termasuk berkurangnya kualitas hidup para perokok dan perokok pasif.

Mitos 2:
Mengurangi konsumsi rokok merupakan isu yang hanya bisa diatasi oleh negara-negara kaya.
Fakta 2:
Sekarang ini kurang lebih 80% perokok hidup di negara berkembang dan angka ini sudah tumbuh pesat dalam beberapa dekade saja. Diperkirakan pada tahun 2020, 70% dari seluruh kematian yang disebabkan rokok akan terjadi di negara-negara berkembang, naik dari tingkatan sekarang (50%). Ini berarti dalam beberapa dekade yang akan datang negara berkembang akan berhadapan dengan biaya yang semakin tinggi untuk perawatan kesehatan perokok dan hilangnya produktivitas.

Mitos 3:
Pengaturan yang lebih ketat terhadap industri rokok akan berakibat hilangnya pekerjaan di tingkat petani tembakau dan pabrik rokok.
Fakta 3:
Prediksi mengindikasikan dengan jelas bahwa konsumsi rokok global akan meningkat dalam tiga dekade ke depan, walau dengan penerapan pengaturan tembakau di seluruh dunia. Memang dengan berkurangnya konsumsi rokok, suatu saat akan mengakibatkan berkurangnya pekerjaan di tingkat petani tembakau. Tapi ini terjadi dalam hitungan dekade, sehingga pemerintah mempunyai banyak kesempatan untuk merencanakan peralihan yang berkesinambungan dan teratur.
Para ekonom independent yang mempelajari klaim industri rokok, berkesimpulan bahwa industri rokok sangat membesar-besarkan potensi kehilangan pekerjaan dari pengaturan rokok yang lebih ketat. Penelitian World Bank menggambarkan bahwa pada umumnya negara tidak akan mendapatkan pengangguran baru bila konsumsi rokok dikurangi. Beberapa negara malah akan memperoleh keuntungan baru karena konsumen rokok mengalokasikan uangnya untuk membeli barang dan jasa lainnya. Hal ini tentunya membuka kesempatan terciptanya lapangan kerja baru.

Mitos 4:
Pemerintah akan kehilangan pendapatan jika mereka menaikan pajak terhadap industri rokok karena makin sedikit orang yang akan membeli rokok.
Fakta 4:
Bukti sudah jelas: perhitungan menunjukkan bahwa pajak yang tinggi memang akan menurunkan konsumsi rokok tetapi tidak mengurangi pendapatan pemerintah, malah sebaliknya. Ini bisa terjadi karena jumlah turunnya konsumen rokok tidak sebanding dengan besaran kenaikan pajak. Konsumen yang sudah kecanduan rokok biasanya akan lambat menanggapi kenaikan harga (tetap membeli). Lebih jauh, jumlah uang yang disimpan oleh mereka yang berhenti merokok akan digunakan untuk membeli barang lain (pemerintah tetap menerima pemasukan).

Mitos 5:
Pajak rokok yang tinggi akan menyebabkan penyelundupan rokok.
Fakta 5:
Industri rokok sering beragumentasi bahwa pajak yang tinggi akan mendorong penyelundupan rokok dari negara yang pajak rokoknya lebih rendah, dimana akan membuat konsumsi rokok lebih tinggi dan mengurangi pendapatan pemerintah.
Walaupun penyelundupan merupakan hal yang serius, laporan Bank Dunia tahun 1999 Curbing the Epidemic tetap menyimpulkan bahwa pajak rokok yang tinggi akan menekan konsumsi rokok serta menaikan pendapatan pemerintah. Langkah yang tepat bagi pemerintah adalah memerangi kejahatan bukannya mengorbankan kenaikan pajak rokok. Selain itu, ada klaim-klaim yang mengatakan bahwa industri rokok juga terlibat dalam penyelundupan. Klaim seperti ini patut disikapi serius.

Mitos 6:
Kecanduan rokok sudah sedemikian tinggi, menaikan pajak rokok tidak akan mengurangi permintaan rokok. Oleh karenanya menaikan pajak rokok tidak perlu.
Fakta 6:
Menaikan pajak rokok akan mengurangi jumlah perokok dan mengurangi kematian yang disebabkan oleh rokok. Kenaikan harga rokok akan membuat sejumlah perokok untuk berhenti dan mencegah lainnya untuk menjadi perokok. Kenaikan pajak rokok juga akan mengurangi jumlah orang yang kembali merokok dan mengurangi konsumsi rokok pada orang-orang yang masih merokok. Anak-anak dan remaja merupakan kelompok yang sensitif terhadap kenaikan harga rokok oleh karenanya mereka akan mengurangi pembelian rokok bila pajak rokok dinaikan.
Selain itu, orang-orang dengan pendapatan rendah juga lebih sensitif terhadap kenaikan harga, oleh karenanya kenaikan pajak rokok akan berpengaruh besar terhadap pembelian rokok di negara-negara berkembang.
Model yang dikembangkan oleh Bank Dunia dalam laporannya Curbing the Epidemic menunjukan kenaikan harga rokok sebanyak 10% karena naiknya pajak rokok, akan membuat 40 juta orang yang hidup di tahun 1995 untuk berhenti merokok dan mencegah sedikitnya 10 juta kematian akibat rokok.

Mitos 7:
Pemerintah tidak perlu menaikan pajak rokok karena kenaikan tersebut akan merugikan konsumer berpendapatan rendah.
Fakta 7:
Perusahaan rokok beragumen bahwa harga rokok tidak seharusnya dinaikan karena bila begitu akan merugikan konsumen berpendapatan rendah. Tetapi, penelitian menunjukkan bahwa masyarakat berpendapatan rendah merupakan korban rokok yang paling dirugikan. Karena rokok akan memperberat beban kehidupan, meningkatkan kematian, menaikan biaya perawatan kesehatan yang harus mereka tanggung dan gaji yang terbuang untuk membeli rokok.
Masyarakat berpendapatan rendah paling bisa diuntungkan oleh harga rokok yang mahal karena akan membuat mereka lebih mudah berhenti merokok, mengurangi, atau menghindari kecanduan rokok karena makin terbatasnya kemampuan mereka untuk membeli. Keuntungan lain dari pajak rokok yang tinggi adalah bisa digunakan untuk program-program kesejahteraan masyarakat miskin.

Mitos 8:
Perokok menanggung sendiri beban biaya dari merokok.
Fakta 8:
Perokok membenani yang bukan perokok. Bukti-bukti biaya yang harus ditanggung bukan perokok seperti biaya kesehatan, gangguan, dan iritasi yang didapatkan dari asap rokok. Ulasan di negara-negara kaya mengungkapkan bahwa perokok membebani asuransi kesehatan lebih besar daripada mereka yang tidak merokok (walaupun usia perokok biasanya lebih pendek). Apabila asuransi kesehatan dibayar oleh rakyat (seperti jamsostek) maka para perokok tentunya ikut membebankan biaya akibat merokok kepada orang lain juga.


So....gimana yah?? berenti merokok lah!

Baca juga di blog ini: Cigarette Taxes and the Transition from Youth to Adult Smoking: Smoking Initiation, Cessation, and Participation

Read More.....

Cigarette Taxes and the Transition from Youth to Adult Smoking: Smoking Initiation, Cessation, and Participation

Review Jurnal
Rokok dan Pajak

Judul : Cigarette Taxes and the Transition from Youth to Adult Smoking: Smoking Initiation, Cessation, and Participation
Penulis : Philip DeCicca, Donald S. Kenkel, and Alan D. Mathios
Sumber : NBER Working Paper No. 14042, May 2008, JEL No. I12. http://www.nber.org/papers/w14042

“Pajak Rokok dan Transisi dari Perokok Muda ke Perokok Dewasa: Permulaan Merokok, Penghentian, dan Keikutsertaan Merokok”

Pembuat kebijakan terus menganjurkan dan menggunakan pajak rokok sebagai ukuran kesehatan masyarakat. Studi empirik terhadap permintaan rokok pada tingkat individu yang sering dilakukan baru-baru ini, pada dasarnya merupakan analisis statis.

Pada studi ini digunakan data longitudinal untuk menguji keputusan perokok usia muda-dewasa yang dinamis tentang permulaan dan penghentian merokok. Data yang digunakan adalah data dari National Education Longitudinal Study tahun 1992, ketika kebanyakan kelompok merupakan usia anak Sekolah Menengah Atas (SMA), dan data tahun 2000, ketika kebanyakan berumur sekitar 26 tahun.

Model sederhana dibangun untuk menandakan perbedaan antara permulaan merokok, penghentian, dan keikutsertaan merokok, serta memperlihatkan bahwa elastisitas harga dari keikutsertaan merokok adalah rata-rata yang dihimpit sesuai elastisitas permulaan dan penghentian, penemuan yang berlaku lebih luas pada bahan adiktif lainnya juga.

Hasil studi memperlihatkan bahwa perbedaan antara permulaan dan penghentian merokok adalah penting dan berguna secara empirik. Studi ini juga menyumbang perkiraan baru pada pengaruh pajak bagi perokok usia muda-dewasa, memberikan perhatian serius terhadap kemungkinan bias jika sulit di observasi perbedaan dalam sentimen anti rokok dihubungkan dengan pajak rokok pemerintah.

Hasil studi menunjukan relevansi kebijakan terutama pada kebijaksanaan konvensional (conventional wisdom) bahwa perokok muda lebih responsif terhadap pajak atau harga daripada perokok dewasa.

Hal yang menarik tentang perokok remaja adalah permulaan merokok. Lebih tepatnya seperti yang ditunjukan elastisitas harga permulaan merokok cenderung mengarahkan elastisitas harga dari keikutsertaan perokok muda. Elastisitas harga penghentian merokok berperan lebih penting dalam elastisitas harga keikutsertaan perokok dewasa.

Dapat dinyatakan tidak terdapat bukti bahwa pajak yang lebih besar mencegah permulaan merokok, tetapi beberapa bukti menunjukkan bahwa pajak lebih besar berhubungan dengan kenaikan penghentian merokok.



Jadi... mari naikkan pajak rokok, pemasukan negara meningkat, jumlah perokok berkurang, dan mudah2an terjadi pula penurunan jumlah penderita sakit akibat rokok.

Baca: Mitos dan Fakta Rokok, http://www.seatca.org/upload_resource/202.doc
Liat juga di blog ini: Rokok dan Pajak

Read More.....

ENVIRONMENTAL JUSTICE, KEADILAN LINGKUNGAN

ENVIRONMENTAL JUSTICE
KEADILAN LINGKUNGAN

Bumi Lestari...

Environmental Justice diartikan sebagai pergerakan di lapisan masyarakat bawah (grassroot) yang memperjuangkan perlakuan yang sama bagi masyarakat tanpa memandang suku bangsa, budaya, sosial ekonomi, dalam hal pembangunan, implementasi dan penegakan hukum, peraturan dan kebijakan. Perlakuan adil berarti pula tidak boleh ada seorangpun atau kelompok tertentu yang lebih dirugikan oleh suatu dampak lingkungan.

Berdasarkan definisinya, Environmental Justice mengandung tiga aspek sebagai berikut:
– Aspek keadilan prosedural: keterlibatan seluruh pihak (masyarakat) dalam arti yang sebenarnya;
– Aspek keadilan subtantif: hak untuk tinggal dan menikmati lingkungan yang sehat dan bersih;
– Aspek keadilan distributif: penyebaran yang merata dari keuntungan yang diperoleh dari lingkungan.

Peserta the Central and Eastern Europe Workshop on Environmental Justice (Budapest, December 2003) mendefinisikan environmental justice (and injustice) sebagai berikut:

"Environmental Justice:
A condition of environmental justice exists when environmental risks and hazards and investments and benefits are equally distributed with a lack of discrimination, whether direct or indirect, at any jurisdictional level; and when access to environmental investments, benefits, and natural resources are equally distributed; and when access to information, participation in decision making, and access to justice in environment-related matters are enjoyed by all."

"Environmental Injustice:
An environmental injustice exists when members of disadvantaged, ethnic, minority or other groups suffer disproportionately at the local, regional (sub-national), or national levels from environmental risks or hazards, and/or suffer disproportionately from violations of fundamental human rights as a result of environmental factors, and/or denied access to environmental investments, benefits, and/or natural resources, and/or are denied access to information; and/or participation in decision making; and/or access to justice in environment-related matters."

Pada dasarnya Environmental Justice mengkaji seberapa jauh keterkaitan antara ketidakadilan lingkungan dan sosial, dan mempertanyakan apakah mungkin ketidakadilan sosial dan masalah lingkungan dapat diatasi melalui pendekatan kebijakan dan pembangunan yang terintegrasi.
Environmental Justice biasa disebut juga environmental equity yang diartikan sebagai hak untuk mendapatkan perlindungan dari bahaya lingkungan secara adil bagi individu, kelompok, atau masyarakat tanpa membedakan ras, bangsa, atau status ekonomi.

Gerakan Environmental Justice atau keadilan lingkungan berawal dari gerakan masyarakat peduli lingkungan yang melihat sisi lain gerakan lingkungan, dimana pada gerakan lingkungan klasik, perhatian sering hanya difokuskan pada pencemaran dan hal-hal fisik. Sementara pada perkembangannya, terdapat kelompok masyarakat tertentu harus menerima paparan cemaran lebih banyak daripada kelompok masyarakat lain. Misalnya kasus di AS, sering lokasi pembuangan akhir sampah ditempatkan pada daerah permukiman orang-orang kulit berwarna dan tidak di sekitar kaum kulit putih. Kondisi itu yang membuat gerakan untuk menyatukan isu lingkungan dan kondisi sosial menguat.

Penyatuan isu antara lingkungan fisik dan sosial menyebabkan gabungan pendekatan advokasi HAM dan isu-isu lingkungan. Gerakan keadilan lingkungan menjadi semakin kuat saat masyarakat dunia mengakui hak atas lingkungan hidup yang sehat sebagai bagian generasi ketiga HAM yang disepakati di Konvensi Wina 1993 berbarengan hak untuk pembangunan. Sehingga kata pembangunan tidak saja dilekati isu-isu lingkungan (pembangunan berkelanjutan/ sustainable development), tetapi juga dilekatkan dengan hak manusia itu sendiri.

Hak atas lingkungan sebagai hak asasi manusia baru mendapat pengakuan oleh Sidang Komisi HAM pada April 2001. Kesimpulan sidang tersebut menyatakan bahwa ''setiap orang memiliki hak hidup di dunia yang bebas dari polusi bahan-bahan beracun dan degradasi lingkungan''.

Di Indonesia, hak atas lingkungan telah diadopsi di berbagai ketentuan perundang-undangan, baik konstitusi negara pascaamandemen maupun undang-undang negara. Dalam UUD 1945 amandemen II, Pasal 28H ayat (1) menyebutkan: ''Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat, berhak memperoleh pelayanan kesehatan.'' Pasal 5 dan 8 UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, berbunyi: ''Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.'' Bukan hanya itu, dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga menyatakan hal yang sama pada Pasal 3 yang berbunyi, ''Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.''

Uraian di atas memperlihatkan betapa pentingnya komponen lingkungan dalam menunjang dan memenuhi hak hidup manusia. Hal ini berarti hak atas lingkungan menentukan dalam pencapaian kualitas hidup manusia.

Agenda perubahan bagi keadilan lingkungan tidak akan mungkin dilaksanakan tanpa kekuatan politik yang signifikan dan luas, melibatkan berbagai elemen atau komponen penting dalam masyarakat seperti buruh, petani, ataupun kaum miskin lainnya. Dan tentu saja didukung kaum intelektual yang punya komitmen pada pembaruan dengan memposisikan lingkungan pada arus utama.

Di tengah semakin berkembangnya iklim demokrasi di berbagai negara, termasuk di Indonesia, isu keadilan lingkungan telah menjelma dari sebuah gagasan yang terkesan abstrak menuju sesuatu yang memang harus dan dapat diperjuangkan. Seringkali keadilan memang harus direbut.



Referensi dan tulisan terkait:

Environmental Justice. www.wikipedia.org.

Haksoro, A dan K. T. Yunanto. 2008. 2007, Tahun Kelam Perjuangan Lingkungan. ©2008 VHRmedia.com.

Karyadi, N. 2004. Wacana Lingkungan di Arus Utama Pemulihan Indonesia. http://www.balipost.com.

Subagyo, R. 2008. Tahun 2008: Kemerosotan Jaminan Hukum bagi Perlindungan Hak Rakyat atas Lingkungan Hidup. http://www.icel.or.id.

Wardana, A. 2007. Perusakan Lingkungan Sebagai Pelanggaran HAM. http://bhumisenthana.blogspot.com; telah dipublikasikan pada http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2005/12/10/o1.htm.

Read More.....

Deforestation and Regulatory Policy

Deforestation atau deforestasi merupakan penebangan hutan atau konversi lahan hutan menjadi lahan tidak berhutan secara permanen.
Hutan merupakan salah satu sumber daya yang penting, tidak hanya dalam menunjang perekonomian nasional tetapi juga dalam menjaga daya dukung lingkungan terhadap keseimbangan ekosistem dunia.

Berbagai permasalahan muncul dan memicu terjadinya kerusakan hutan sehingga dikhawatirkan akan berdampak besar bagi kehidupan makhluk bumi terutama manusia yang populasinya semakin besar. Beberapa permasalahan pokok dalam kehutanan diantaranya sebagai berikut (Perpres No. 7 Th 2005):

• Terus menurunnya kondisi hutan Indonesia. Indonesia merupakan Negara dengan luas hutan terbesar dibanding dengan Negara ASEAN lainnya. Namun, bersama Filipina, Indonesia memiliki laju deforestasi tertinggi. Laju deforestasi yang pada periode 1985-1997 adalah 1,6 juta hektar per tahun meningkat menjadi 2,1 juta hektar per tahun pada periode 1997-2001. Salah satu akibatnya jumlah satwa Indonesia yang terancam punah tertinggi dibandingkan Negara ASEAN lainnya.

• Sistem pengelolaan hutan secara berkelanjutan belum optimal dilaksanakan. Sistem pengelolaan hutan didominasi oleh pemberian hak pengusahaan hutan (HPH) kepada pihak-pihak tertentu secara tidak transparan tanpa mengikutsertakan masyarakat setempat, masyarakat adat, maupun pemerintah daerah. Kontrol sosial tidak berjalan, kasus KKN marak, dan pelaku cenderung mengejar keuntungan jangka pendek sebesar-besarnya. Pada masa yang akan datang, sistem pengelolaan hutan harus bersifat lestari dan berkelanjutan (sustainable forest management) yang memperhatikan aspek ekonomi – sosial – lingkungan secara bersamaan.

• Pembagian wewenang dan tanggung jawab pengelolaan hutan belum jelas. Otonomi daerah telah merubah pola hubungan pusat-daerah. Titik berat otonomi daerah di Kabupaten/Kota mengakibatkan pola hubungan Pemerintah Pusat-Propinsi-Kabupaten/Kota berubah, dan karena kurang diatur dalam peraturan perundang-undangan, menjadi berbeda-beda penafsirannya. Akibatnya kondisi hutan cenderung tertekan karena belum ada kesepahaman antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam pengelolaan sumber daya alam.

• Lemahnya penegakan hukum terhadap pembalakan liar (illegal logging) dan penyelundupan kayu. Tingginya biaya pengelolaan hutan, lemahnya pengawasan dan penegakan hukum mengakibatkan perencanaan kehutanan kurang efektif atau bahkan tidak berjalan. Kasus tebang berlebih (over cutting), pembalakan liar (illegal logging), penyelundupan kayu ke luar negeri, dan tindakan ilegal lainnya banyak terjadi. Selain penegakan hukum yang lemah, juga disebabkan oleh aspek penguasaan lahan (land tenure) yang sarat masalah, praktik pengelolaan hutan yang tidak lestari, dan terhambatnya akses masyarakat terhadap sumber daya hutan.

• Rendahnya kapasitas pengelola kehutanan. Sumber daya manusia, pendanaan, sarana-prasarana, kelembagaan, serta insentif bagi pengelola kehutanan sangat terbatas bila dibandingkan dengan cakupan luas kawasan yang harus dikelolanya. Hal ini mempersulit penanggulangan masalah kehutanan seperti pencurian kayu, kebakaran hutan, pemantapan kawasan hutan, dan lain-lain. Di samping itu, partisipasi masyarakat untuk ikut serta mengamankan hutan juga sangat rendah.

• Belum berkembangnya pemanfaatan hasil hutan non-kayu dan jasa-jasa lingkungan. Hasil hutan non-kayu dan jasa lingkungan dari ekosistem hutan, seperti nilai hutan sebagai sumber air, keanekaragaman hayati, udara bersih, keseimbangan iklim, keindahan alam, dan kapasitas asimilasi lingkungan yang memiliki manfaat besar sebagai penyangga sistem kehidupan, dan memiliki potensi ekonomi, belum berkembang seperti yang diharapkan. Dewasa ini permintaan terhadap jasa lingkungan mulai meningkat, khususnya untuk air minum kemasan, obyek penelitian, wisata alam, dan sebagainya. Permasalahannya adalah sampai saat ini sistem pemanfaatannya belum berkembang secara maksimal.


Dengan permasalahan-permasalahan di atas, sasaran pembangunan yang ingin dicapai adalah membaiknya sistem pengelolaan sumber daya alam bidang kehutanan bagi terciptanya keseimbangan antara aspek pemanfaatan sumber daya alam sebagai modal pertumbuhan ekonomi dengan aspek perlindungan terhadap kelestarian fungsi lingkungan hidup sebagai penopang sistem kehidupan secara luas. Adanya keseimbangan tersebut berarti menjamin keberlanjutan pembangunan. Untuk itu, pengarusutamaan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di seluruh sektor, baik pusat maupun daerah, menjadi suatu keharusan.

Apabila dilihat Kebijakan Pengaturan (Regulatory Policy) yang telah dilakukan pemerintah bagi pembangunan sumber daya alam bidang kehutanan, khususnya yang berkenaan dengan deforestasi, dapat dikelompokkan sebagai berikut:

1). Prevention and Abatement of Damage. Kebijakan pengaturan ini berkenaan dengan pencegahan dan pengurangan kerusakan yang terjadi akibat kegiatan deforestasi. Bentuk dari kebijakan ini diantaranya adalah penetapan kawasan hutan, penatagunaan hutan, dan penetapan kesatuan pengelolaan hutan, dimana kawasan hutan yang telah ditetapkan lebih terperhatikan dengan adanya pengawasan dari instansi terkait, sehingga pembukaan hutan atau deforestasi dapat dicegah karena lebih terawasi.

2). Public Participation. Kebijakan pengaturan ini berkenaan dengan pelibatan masyarakat dalam pelaksanaannya. Bentuk dari kebijakan ini diantaranya adalah Pengembangan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM), usaha perhutanan rakyat, dan pembinaan kelembagaan hutan produksi. Bila program kegiatan berjalan dengan benar, maka kebijakan ini sangat efektif dalam mencegah atau mengurangi terjadinya deforestasi, karena masyarakat ikut berpartisipasi menjaga hutan dan terpenuhi kebutuhan ekonominya dari hutan tersebut.

3). Environmental Awareness. Kebijakan pengaturan ini berkenaan dengan peningkatan kesadaran akan pentingnya sumber daya alam (SDA) atau lingkungan hidup (LH) yang baik. Bentuk dari kebijakan ini diantaranya adalah pengembangan sertifikasi pengelolaan hutan lestari, pengembangan hasil hutan non-kayu dan jasa lingkungannya. Kebijakan ini mendorong semua pihak termasuk masyarakat untuk lebih peduli terhadap SDA/LH, dan menyadari akan arti penting serta manfaat yang dapat diperoleh tanpa melakukan perusakan terhadap SDA/LH tersebut. Hal ini tentu akan mengurangi aktivitas deforestasi, karena adanya kesadaran/kepedulian akan arti penting hutan.

4). Compensation and Restoration. Kebijakan pengaturan ini berkenaan dengan kompensasi yang dapat diperoleh dari SDA/LH yang terjaga atau lestari dan pemulihan yang dapat dilakukan bagi SDA/LH. Bentuk dari kebijakan ini yang berupa kompensasi diantaranya adalah diperolehnya pendanaan lingkungan seperti DNS (Debt for Nature Swap), CDM (Clean Development Mechanism), retribusi lingkungan, dan sebagainya. Sedangkan yang berupa pemulihan adalah konservasi hutan. Adanya kompensasi yang dapat diperoleh dari lestarinya hutan dan adanya upaya konservasi hutan akan meningkatkan penjagaan atau pengawasan dari berbagai pihak terhadap kelestarian hutan tersebut sehingga deforestasi dapat dicegah, khususnya pada hutan tersebut.


Tapi, adanya Regulatory Policy yang cukup lengkap tersebut kurang berarti apabila lemahnya penegakan hukum....
dan barangkali itulah yang terjadi di Indonesia.

Read More.....

20 June 2008

Talun: Fungsi, Struktur dan Potensi

Read this document on Scribd: talun j

Read More.....