23 June 2008

Deforestation and Regulatory Policy

Deforestation atau deforestasi merupakan penebangan hutan atau konversi lahan hutan menjadi lahan tidak berhutan secara permanen.
Hutan merupakan salah satu sumber daya yang penting, tidak hanya dalam menunjang perekonomian nasional tetapi juga dalam menjaga daya dukung lingkungan terhadap keseimbangan ekosistem dunia.

Berbagai permasalahan muncul dan memicu terjadinya kerusakan hutan sehingga dikhawatirkan akan berdampak besar bagi kehidupan makhluk bumi terutama manusia yang populasinya semakin besar. Beberapa permasalahan pokok dalam kehutanan diantaranya sebagai berikut (Perpres No. 7 Th 2005):

• Terus menurunnya kondisi hutan Indonesia. Indonesia merupakan Negara dengan luas hutan terbesar dibanding dengan Negara ASEAN lainnya. Namun, bersama Filipina, Indonesia memiliki laju deforestasi tertinggi. Laju deforestasi yang pada periode 1985-1997 adalah 1,6 juta hektar per tahun meningkat menjadi 2,1 juta hektar per tahun pada periode 1997-2001. Salah satu akibatnya jumlah satwa Indonesia yang terancam punah tertinggi dibandingkan Negara ASEAN lainnya.

• Sistem pengelolaan hutan secara berkelanjutan belum optimal dilaksanakan. Sistem pengelolaan hutan didominasi oleh pemberian hak pengusahaan hutan (HPH) kepada pihak-pihak tertentu secara tidak transparan tanpa mengikutsertakan masyarakat setempat, masyarakat adat, maupun pemerintah daerah. Kontrol sosial tidak berjalan, kasus KKN marak, dan pelaku cenderung mengejar keuntungan jangka pendek sebesar-besarnya. Pada masa yang akan datang, sistem pengelolaan hutan harus bersifat lestari dan berkelanjutan (sustainable forest management) yang memperhatikan aspek ekonomi – sosial – lingkungan secara bersamaan.

• Pembagian wewenang dan tanggung jawab pengelolaan hutan belum jelas. Otonomi daerah telah merubah pola hubungan pusat-daerah. Titik berat otonomi daerah di Kabupaten/Kota mengakibatkan pola hubungan Pemerintah Pusat-Propinsi-Kabupaten/Kota berubah, dan karena kurang diatur dalam peraturan perundang-undangan, menjadi berbeda-beda penafsirannya. Akibatnya kondisi hutan cenderung tertekan karena belum ada kesepahaman antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam pengelolaan sumber daya alam.

• Lemahnya penegakan hukum terhadap pembalakan liar (illegal logging) dan penyelundupan kayu. Tingginya biaya pengelolaan hutan, lemahnya pengawasan dan penegakan hukum mengakibatkan perencanaan kehutanan kurang efektif atau bahkan tidak berjalan. Kasus tebang berlebih (over cutting), pembalakan liar (illegal logging), penyelundupan kayu ke luar negeri, dan tindakan ilegal lainnya banyak terjadi. Selain penegakan hukum yang lemah, juga disebabkan oleh aspek penguasaan lahan (land tenure) yang sarat masalah, praktik pengelolaan hutan yang tidak lestari, dan terhambatnya akses masyarakat terhadap sumber daya hutan.

• Rendahnya kapasitas pengelola kehutanan. Sumber daya manusia, pendanaan, sarana-prasarana, kelembagaan, serta insentif bagi pengelola kehutanan sangat terbatas bila dibandingkan dengan cakupan luas kawasan yang harus dikelolanya. Hal ini mempersulit penanggulangan masalah kehutanan seperti pencurian kayu, kebakaran hutan, pemantapan kawasan hutan, dan lain-lain. Di samping itu, partisipasi masyarakat untuk ikut serta mengamankan hutan juga sangat rendah.

• Belum berkembangnya pemanfaatan hasil hutan non-kayu dan jasa-jasa lingkungan. Hasil hutan non-kayu dan jasa lingkungan dari ekosistem hutan, seperti nilai hutan sebagai sumber air, keanekaragaman hayati, udara bersih, keseimbangan iklim, keindahan alam, dan kapasitas asimilasi lingkungan yang memiliki manfaat besar sebagai penyangga sistem kehidupan, dan memiliki potensi ekonomi, belum berkembang seperti yang diharapkan. Dewasa ini permintaan terhadap jasa lingkungan mulai meningkat, khususnya untuk air minum kemasan, obyek penelitian, wisata alam, dan sebagainya. Permasalahannya adalah sampai saat ini sistem pemanfaatannya belum berkembang secara maksimal.


Dengan permasalahan-permasalahan di atas, sasaran pembangunan yang ingin dicapai adalah membaiknya sistem pengelolaan sumber daya alam bidang kehutanan bagi terciptanya keseimbangan antara aspek pemanfaatan sumber daya alam sebagai modal pertumbuhan ekonomi dengan aspek perlindungan terhadap kelestarian fungsi lingkungan hidup sebagai penopang sistem kehidupan secara luas. Adanya keseimbangan tersebut berarti menjamin keberlanjutan pembangunan. Untuk itu, pengarusutamaan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di seluruh sektor, baik pusat maupun daerah, menjadi suatu keharusan.

Apabila dilihat Kebijakan Pengaturan (Regulatory Policy) yang telah dilakukan pemerintah bagi pembangunan sumber daya alam bidang kehutanan, khususnya yang berkenaan dengan deforestasi, dapat dikelompokkan sebagai berikut:

1). Prevention and Abatement of Damage. Kebijakan pengaturan ini berkenaan dengan pencegahan dan pengurangan kerusakan yang terjadi akibat kegiatan deforestasi. Bentuk dari kebijakan ini diantaranya adalah penetapan kawasan hutan, penatagunaan hutan, dan penetapan kesatuan pengelolaan hutan, dimana kawasan hutan yang telah ditetapkan lebih terperhatikan dengan adanya pengawasan dari instansi terkait, sehingga pembukaan hutan atau deforestasi dapat dicegah karena lebih terawasi.

2). Public Participation. Kebijakan pengaturan ini berkenaan dengan pelibatan masyarakat dalam pelaksanaannya. Bentuk dari kebijakan ini diantaranya adalah Pengembangan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM), usaha perhutanan rakyat, dan pembinaan kelembagaan hutan produksi. Bila program kegiatan berjalan dengan benar, maka kebijakan ini sangat efektif dalam mencegah atau mengurangi terjadinya deforestasi, karena masyarakat ikut berpartisipasi menjaga hutan dan terpenuhi kebutuhan ekonominya dari hutan tersebut.

3). Environmental Awareness. Kebijakan pengaturan ini berkenaan dengan peningkatan kesadaran akan pentingnya sumber daya alam (SDA) atau lingkungan hidup (LH) yang baik. Bentuk dari kebijakan ini diantaranya adalah pengembangan sertifikasi pengelolaan hutan lestari, pengembangan hasil hutan non-kayu dan jasa lingkungannya. Kebijakan ini mendorong semua pihak termasuk masyarakat untuk lebih peduli terhadap SDA/LH, dan menyadari akan arti penting serta manfaat yang dapat diperoleh tanpa melakukan perusakan terhadap SDA/LH tersebut. Hal ini tentu akan mengurangi aktivitas deforestasi, karena adanya kesadaran/kepedulian akan arti penting hutan.

4). Compensation and Restoration. Kebijakan pengaturan ini berkenaan dengan kompensasi yang dapat diperoleh dari SDA/LH yang terjaga atau lestari dan pemulihan yang dapat dilakukan bagi SDA/LH. Bentuk dari kebijakan ini yang berupa kompensasi diantaranya adalah diperolehnya pendanaan lingkungan seperti DNS (Debt for Nature Swap), CDM (Clean Development Mechanism), retribusi lingkungan, dan sebagainya. Sedangkan yang berupa pemulihan adalah konservasi hutan. Adanya kompensasi yang dapat diperoleh dari lestarinya hutan dan adanya upaya konservasi hutan akan meningkatkan penjagaan atau pengawasan dari berbagai pihak terhadap kelestarian hutan tersebut sehingga deforestasi dapat dicegah, khususnya pada hutan tersebut.


Tapi, adanya Regulatory Policy yang cukup lengkap tersebut kurang berarti apabila lemahnya penegakan hukum....
dan barangkali itulah yang terjadi di Indonesia.

No comments: